KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DAN PEMBANGUNAN PERDAMAIAN ACEH

Administrator . | Selasa, 5 Januari 2016

  1. Pendahuluan

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) merupakan upaya penyelenggara negara untuk memastikan terpenuhinya hak publik terkait informasi. Dan, salah satu elemen penting dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang terbuka adalah hak publik untuk memperoleh informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Penjelasan UU KIP).

Tujuan pembentukan kebijakan antara lain dimaksudkan untuk  menjamin partisipasi publik serta meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik. Sebelumnya, jaminan partisipasi publik telah pula diatur  dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang telah diganti dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

UU KIP juga memastikan kewajiban badan publik (eksekutif, legislatif, yudikatif, serta organisasi lainnnya) untuk menyediakan informasi secara mudah, murah dan cepat. Berikutnya, menjamin hak publik untuk mendapatkan akses informasi. Dan, bahkan ditetapkan pula mekanisme penyelesaian sengketa melalui Komisi Informasi sesuai tingkatannya, apabila parapihak tidak memenuhi permohonan informasi sesuai ketentuan yang berlaku.  

Pasca MoU Helsinki, berbagai perubahan juga berlangsung di Aceh. Sejumlah perubahan yang terjadi dapat dilihat dalam 2 (dua) hal,  pertama; berkenaan dengan keterbukaan akses, dari wilayah yang tertutup pada masa konflik menjadi wilayah terbuka pasca kesepakatan damai. Proses ini sekaligus menjadi penentu berakhirnya peristiwa konflik yang berlangsung puluhan tahun. Keterbukaan wilayah ini memberi kesempatan berbagai bentuk dukungan dari banyak negara. Dukungan yang mengalir untuk mendukung proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana gempa dan tsunami  26 Desember 2004. Kondisi ini berbanding terbalik pada masa konflik, apalagi pada saat pemberlakuan Darurat Militer. Dengan dalih rahasia negara, pemangku kebijakan tidak mendukung  kemudahan akses publik untuk mendapatkan berbagai dokumen dan informasi secara mudah dan cepat.

Kedua, lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) sebagai turunan MoU Helsinki, terutama pada butir 1 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh. Selain mengatur pembagian kewenangan serta kekhususan lainnya, UU ini juga menjamin partisipasi publik (masyarakat/warganegara) dalam perencanaan pembangunan, pendidikan, ekonomi, kesehatan serta bidang sosial. Khusus dalam hal pembentukan peraturan, Pemerintahan Aceh juga memperkuat jaminan partisipasi publik melalui Qanun Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tatacara Pembentukan Qanun yang diganti dengan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2011 tentang Tatacara Pembentukan Qanun.  

Dengan demikian, ketentuan UU KIP  dan UU PA dapat saling memperkuat  partisipasi publik dalam pembangunan. Ketentuan ini menjadi penting  dan strategis bagi masyarakat Aceh sebagai syarat untuk aktif dalam pembangunan perdamaian positif yang berkelanjutan.  

  1. Permasalahan

Merujuk ketentuan UUKIP dan UUPA, sejatinya memberi dampak terhadap tingkat partisipasi publik dalam pembangunan perdamaian di Aceh. Namun, jika kondisi dimaksud belum berlangsung maka setidaknya harus dipahami bahwa pertama; apakah seluruh badan publik telah mempersiapkan diri untuk merespon dan bahkan memastikan partisipasi publik dalam pembangunan? UU KIP telah disahkan pada 2008 dan diberlakukan 2 (dua) tahun berikutnya, yakni pada 2010. Diharapkan dalam kurun waktu dimaksud  berbagai persiapan badan publik telah berlangsung. Nyatanya, melalui publikasi media[1] diketahui bahwa beberapa badan publik belum optimal melaksanakan fungsinya. Apalagi dikaitkan dengan meningkatkan partisipasi publik dalam pembangunan.

Walaupun demikian, Pemerintahan Aceh melalui Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Utama Aceh[2] terus berupaya untuk berbagi informasi dan memastikan berlangsungnya peran dan fungsi PPID Pembantu di Satuan Perangkat Kerja Aceh (SKPA) serta PPID Utama di Kabupaten/Kota.

Kedua; apakah publik telah memiliki pemahaman terkait dengan keterbukaan informasi publik dan memanfaatkannya untuk kemajuan diri dan lingkungan terutama pasca kesepakatan damai di Aceh? Diperoleh informasi bahwa sejauh ini masih sangat terbatas pengguna informasi memanfaatkan ruang dan kesempatan uji akses informasi terutama untuk memastikan peran aktifnya dalam pembangunan. Hal ini semakin diperkuat dengan kurangnya uji akses informasi yang dilakukan pemohon informasi pada badan publik. Setidaknya, proses ini dapat diketahui pada Komisi Informasi Aceh (KIA), sebagai lembaga negara yang berwenang menyelesaikan sengketa informasi di level provinsi melalui mediasi dan/atau ajudikasi non litigasi.

 

  1. Konsep Keterbukaan Informasi Publik, Partisipasi Publik, dan Pembangunan Perdamaian  
    1. Keterbukaan Informasi Publik

Berdasarkan penjelasan umum UU KIP diketahui bahwa setiap Orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh Informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan Informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Fungsi maksimal ini diperlukan, mengingat hak untuk memperoleh Informasi merupakan hak asasi manusia sebagai salah satu wujud dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis (Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28F).

Selanjutnya, pemenuhan hak atas informasi menjadi sangat penting karena makin terbuka penyelenggaraan negara untuk diawasi publik, penyelenggaraan negara tersebut makin dapat dipertanggungjawabkan. Hak setiap orang untuk memperoleh informasi juga relevan untuk meningkatkan kualitas pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik. Partisipasi atau pelibatan masyarakat tidak banyak berarti tanpa jaminan keterbukaan Informasi Publik (Penjelasan umum UU KIP).

Dengan membuka akses publik terhadap Informasi diharapkan Badan Publik termotivasi untuk bertanggung jawab dan berorientasi pada pelayanan rakyat yang sebaik-baiknya. Dengan demikian, hal itu dapat mempercepat perwujudan pemerintahan yang terbuka yang merupakan upaya strategis mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan terciptanya kepemerintahan yang baik (good governance).

 

  1. Partisipasi Publik

Partisipasi publik didefinisikan sebagai aktivitas oleh warga negara untuk mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah[3]. Partisipasi bisa dilakukan secara individual, kolektif, spontan atau terorganisir, berkelanjutan atau sporadis, secara damai maupun tidak, formal atau informal, dan efektif atau tidak efektif.

Partisipasi tersebut dilakukan publik  untuk mendapatkan kepastian atau jaminan dari para penyelenggara negara, baik yang dipilih dalam pemilihan umum (pemilu)  maupun birokrasi pemerintahan agar setiap kebijakan yang dihasilkan tidak hanya memberikan manfaat atau menguntungkan masyarakat tertentu saja, tetapi dapat memberikan dampak yang positif bagi masyarakat lainnya[4].

Menurut para ahli, partisipasi publik dapat dimaknai sebagai aktivitas yang dilakukan masyarakat untuk mempengaruhi proses penyusunan kebijakan. Partisipasi itu bisa dilakukan pada tahap agenda setting, perumusan dan implementasi kebijakan.

Berkaitan dengan siapa publik yang akan terlibat dalam partisipasi, maka ada dua pendekatan yang dapat dilakukan, yaitu ekstensif dan intensif. Pendekatan ekstensif  melibatkan publik yang jumlahnya besar, namun memberikan peluang yang adil bagi kontribusi yang sifatnya individual. Sedangkan dalam pendekatan  intensif, publik yang terlibat sedikit, karena melalui asosiasi atau berdasarkan pengelompokan tertentu, namun memberikan peluang waktu dan ruang yang luas[5]

Keterbukaan informasi memberi pengaruh kuat terhadap efektifitas partisipasi publik. Karena, partisipasi publik merupakan elemen mendasar dalam perwujudan good governance. Untuk itu, pemberi layanan diharuskan mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan[6].

Hal ini sesuai dengan pandangan para ahli[7], yang menyatakan bahwa efektifitas  partisipasi publik dapat dilakukan dengan cara mengupayakan mekanisme konsultasi.  Agar memudahkan proses konsultasi, maka  dipandang penting memastikan ketersediaan sumberdaya, baik di ranah publik maupun pemerintahan.

Sumberdaya dimaksud terdiri dari; (1) perubahan perilaku dan institusi pemerintahan, dari jenjang yang panjang disesuaikan dengan kewenangan yang dimiliki; (2) peningkatan kapasitas asosiasi atau organisasi publik. Peningkatan ini juga harus didukung oleh pemerintah, terutama melalui program ataupun alokasi dana, dan yang (3) kemudahan publik untuk mendapatkan informasi.  Seringkali isu atau masalah yang diangkat oleh publik, kadangkala memiliki perbedaan informasi dengan penentu kebijakan, terutama yang menyangkut kebijakan atau program pemerintah, sehingga faktor emosi lebih mendominasi.

 

  1. Pembangunan Perdamaian

Teori dan praktik pembangunan perdamaian (peacebuilding) semakin kaya dan meluas, setelah Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros-Ghali mengumumkan agenda perdamaian (Boutros-Ghali, 1992).  Namun titik pijak semesta pembicaraan perdamaian selalu berangkat dari petuah suhu studi konflik, Johan Galtung (1969), tentang perdamaian negatif (negative peace) dan perdamaian positif (positive peace)[8].

Perdamaian negatif adalah situasi di mana tidak ada perang. Perdamaian positif adalah situasi ketika tidak ada kekerasan (baik kekerasan langsung, kekerasan struktural, maupun kekerasan kultural). Secara ringkas karakter utama perdamaian negatif dan perdamaian positif dapat dirumuskan sebagai berikut: perdamaian negatif berarti tidak adanya kekerasan, bersifat pesimistik, kuratif, dan tidak selalu dicapai dengan cara-cara damai. Sedangkan perdamaian positif berarti integrasi struktural, bersifat optimistik, preventif dan dicapai dengan cara-cara yang damai[9].

Mengacu Harris dan Morrison (2004), perdamaian positif memuat pengertian standar keadilan, kehidupan yang lebih seimbang, kehadiran partisipasi warga dalam penyelenggaraan negara. Perdamaian dalam makna ini memuat juga pola kerjasama untuk resolusi konflik, penghargaan terhadap keadilan, pemenuhan kebutuhan dasar, penghargaan terhadap hak azasi manusia, serta menghargai kemanusiaan tanpa prasangka dan diskriminasi (Sutoro Eko, 2012).

Berikutnya CE Miller (2005) mendefinsikan damai sebagai sebuah kondisi politik yang dapat menjamin keadilan dan stabilitas sosial melalui lembaga formal dan resmi serta melalui praktik dan norma. Beberapa kondisi yang harus dipenuhi untuk mencapai perdamaian positif diantaranya: (a) Keseimbangan kekuasaan politik diantara berbagai kelompok dalam suatu organisasi, komunitas, wilayah, atau dunia; (b) Legitimasi bagi pengambil keputusan dan pelaksana keputusan di mata masing-masing kelompok, serta orang-orang dari pihak luar, sepatutnya didukung melalui transparansi dan akuntabilitas; (c) Hubungan interdependensi diakui dan dihargai di antara kelompok, dalam pembinaan kerjasama jangka panjang selama periode perjanjian, normalitas ketidaksepakatan dan krisis;  (d) Lembaga yang handal dan terpercaya untuk menyelesaikan konflik; (e) Kesetaraan dan saling menghormati, dalam praktik, dalam dan/atau tanpa kelompok serta sesuai dengan standar internasional; (f) Pemahaman tentang hak, kepentingan, maksud atau tujuan, serta fleksibilitas jika terjadi ketidaksesuaian[10].

Menurut Sutoro Eko (2012) bahwa pemahaman yang sama akan makna dan tujuan perdamaian positif melahirkan tahapan dasar dalam perdamaian: perjanjian perdamaian (peacemaking), perawatan perdamaian (peacekeeping) dan pembangunan perdamaian (peacebuilding). Perjanjian Helsinki 2005 antara RI dan GAM merupakan bentuk peacemaking yang menghentikan konflik, sekaligus membuat perjanjian baru sebagai landasan untuk perdamaian berkelanjutan dalam tatanan baru yang saling menghormati. Pasca perjanjian diiikuti dengan penarikan tentara, gencatan senjata, sosialisasi, dan lain-lain yang dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional maupun pemerintah dan organisasi masyarakat sipil disebut sebagai peacekeeping. Sedangkan peacebuilding, yang menjadi titik perhatian utama banyak literatur perdamaian, merupakan proses jangka panjang dan berkelanjutan untuk membangun perdamaian positif.

Pada umumnya peacebuilding dipandang sebagai proses untuk menghantar perubahan ke arah konsolidasi perdamaian (peace consolidation) yang antara lain tercermin dari berbagai keadaan yang menunjukkan berfungsinya kembali otoritas pemerintahan bersama dengan institusi khusus yang dibentuk untuk memberi pelayanan khusus. Sehingga, peacebuilding harus dilihat dalam dua konteks sekaligus, yaitu sebagai tindakan nyata yang dimaksudkan untuk mendukung serta memajukan perdamaian dan sebagai proses yang bersifat agregatif. Proses agregatif tersebut diberlakukan untuk merajut kembali struktur sosial (politik, ekonomi, sosial, budaya dan psikologikal) melalui pembangunan dalam arti luas, dan dengan demikian mencakup demokratisasi, pembangunan serta reformasi sektor keamanan. Sifat agregat juga dimaksudkan untuk menggarisbawahi bahwa berhasil atau tidaknya peacebuilding ditentukan oleh efek sinergetik dari tindakan-tindakan nyata yang terjadi pada berbagai tahap dan tingkatan (Kusnanto Anggoro, 2009)[11].

Bagaimana menuju peacebuilding yang berkelanjutan itu? Studi World Bank (2006) dan Kusnanto Anggoro (2009)[12] telah memberikan peta empat aliran yang sering digunakan untuk membangun perdamaian. Pertama, aliran pengelolaan konflik (conflict management) yang mengutamakan upaya untuk mencari beragam penyelesaian melalui jalur politik (diplomasi) untuk mengakhiri konflik. Ini ditempuh dengan pendekatan untuk mencapai hasil kasat mata (outcome oriented approach) melalui forum bilateral, regional maupun multilateral. Pada tataran domestik pengelolaan konflik mengutamakan mediasi. Pada umumnya mereka yang menganut aliran pemikiran ini cenderung memperhatikan kepentingan jangka pendek, khususnya untuk membawa pihak bersengketa ke meja perundingan. Karena itu, fokus pada lapisan elite, yang bisa saja tidak selalu netral dalam konflik. Pendekatan ini pada umumnya kurang memperhatikan akar konflik[13].

Kedua, aliran penyelesaian konflik (conflict resolution school). Arus pemikiran ini memberi perhatian besar untuk menjawab tantangan ganda: menghilangkan akar-akar pertikaian (root causes of conflicts) seraya memperbaiki hubungan yang porak poranda (damaged relationship) antar pihak yang dalam waktu lama terjerumus dalam pertikaian. Berbeda dari aliran yang pertama, aliran penyelesaian konflik tidak merasa cukup hanya memperhatikan pada elit puncak tetapi juga lapisan elit menengah dalam stratum sosial. Program-program interaktif, dialog maupun training, kerap menjadi andalan utama pendekatan ini. Kunci adalah “relationship bulding” dan “long-term resolution oriented approach”.

Ketiga, aliran transformasi konflik (conflict transformation). Konsep transformasi itu sendiri diupayakan untuk menjangkau bukan hanya aktor yang terlibat konflik, tetapi juga ruang di mana mereka berada. Transformasi diharapkan pada akhirnya akan memulai terbentuknya masyarakat baru yang tidak lagi membawa beban masa lalu, memiliki koherensi keinginan untuk memintal masa depan, dan mendasarkan hubungan sosial baru seirama dengan perjalanan transformasi itu sendiri. Langkah awal yang biasa diyakini kalangan ini adalah memintal kembali rekonsiliasi dalam masyarakat. Perbedaan aliran ketiga ini dari yang kedua terletak pada kecenderungannya untuk mengutamakan pendekatan dari bawah, misalnya dengan mengandalkan lapisan elite yang bertindak sebagai konstituen perdamaian (peace constituent).

Keempat, aliran komplementer (complementary school) untuk melengkapi beberapa instrumen aliran yang disebut sebelumnya. Pemikiran ini tidak secara kaku mengutamakan dimensi-dimensi tertentu, fisik atau non-fisik, tetapi pada kecenderungan untuk mencari instrumen yang tepat pada saat yang tepat. Ia mengidentifikasi bagaimana dan kapan konflik dapat diselesaikan melalui negosiasi lanngsung antar pihak-pihak yang bersengketa atau harus menghadirkan pihak ketiga. Pada prinsipnya intervensi pihak ketiga itu diperlukan ketika tidak terdapat lagi struktur maupun institusi sosial politik yang dapat digunakan untuk meredam konflik. Beberapa model yang dikembangkan aliran ini berusaha untuk menemukan titik genting (threshold) sebagai pijakan untuk melakukan intervensi, baik untuk menghentikan konflik maupun untuk membangun perdamaian.

Berikutnya, Sutoro Eko (2012) menyatakan bahwa meskipun aliran keempat tampak lebih lengkap, tetapi transformasi konflik merupakan aliran terkemuka dalam pembangunan perdamaian, yang digunakan oleh para ilmuwan maupun para praktisi. Transformasi menggambarkan peta jalan dan agenda pembangunan perdamaian baik jangka pendek maupun jangka panjang. JP Lederach (1996, 1997) merupakan ilmuwan tersohor dalam merumuskan peta jalan dan proses pembangunan perdamaian secara organik, mulai dari transisi, bergerak menuju transformasi dan berakhir pada rekonsiliasi berkelanjutan. Lederach berargumen bahwa ada perubahan politik yang terintegrasi dalam proses transisi perdamaian, yang sarat akan komponen “tugas dan teknikal” dalam perjanjian perdamaian. Namun jika rekonsiliasi hendak dicapai, pergerakan dari transisi menuju transformasi, tentu membutuhkan pendekatan yang komprehensif, yang mencakup perubahan sosial, ekonomi, psikologi sosial dan spiritual. Rekonsiliasi yang sempurna bisa dicapai hanya jika relasi baru dibangun yang berbasis pada kehendak baik untuk menghargai kebenaran dan ketidakdilan masa lalu serta sebuah keterbukaan untuk saling menawarkan dan menerima pengampunan.

Contoh terbaik bagaimana pendekatan transformasi ini dijalankan, dalam spektrum kontinum transisi, transformasi dan rekonsiliasi jangka panjang, adalah yang dilakukan Presiden Nelson Mandela di Afrika Selatan. Menekankan pentingnya empat agenda dan proses pencapaian perdamaian, Nelson Mandela merumuskan pembangunan perdamaian di Afrika Selatan sebagai upaya mencapai: (1) kesatuan dan rekonsiliasi nasional, menjawab kebutuhan warga kulit putih dan hitam hidup bersama secara sederajad; (2) pembentukan sistem demokrasi untuk menjamin semua warga negara memiliki hak sama dan kesempatan menentukan masa depannya; (3) mengakhiri dan mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi dan kesejahteraan antara penduduk kulit putih dan kulit hitam yang begitu tajam, dan (4) kebutuhan membangun kembali dan memodernisasi ekonomi untuk peningkatan kamajuan ekonomi untuk mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran, dan keterbelakangan mayoritas penduduk, khususnya warga kulit hitam (Lambang Trijono, 2007, 2009).

Berdasarkan berbagai pendapat para ahli di atas maka dalam hal keberlanjutan pembangunan perdamaian diperlukan dukungan dan partisipasi aktif publik lokal. Hal ini bersesuaian dengan Sutoro Eko (2012) yang menyatakan bahwa pengutamaan level lokal (grass roots) dalam pembangunan perdamaian, yang oleh Lederach disebut sebagai “infrastruktur perdamaian”. Sehingga potensi keberlanjutan pembangunan perdamaian akan semakin besar dengan dukungan publik secara luas.  

 

  1. Pembahasan

Mengingat ragam keperluan masyarakat pascakonflik, agenda pembangunan harusnya dapat dihasilkan melalui mekanisme yang partisipatif, termasuk pelaksanaan dan pengawasannya. Beberapa pengalaman menunjukkan bahwa sinergi antara penentu kebijakpean dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), serta akademisi dapat menjembatani keperluan masyarakat. 

Sebagai contoh, pelaksanaan program pascatsunami di Aceh dalam peningkatan pelayanan publik pada pendidikan dan kesehatan, dengan partisipasi publiknya. Program ini berujung pada perubahan kebijakan di kabupaten melalui  pemberdayaan OMS. Program ANCORs[14] dilaksanakan bersama antara CIDA USC Canada, Yappika Jakarta, Impact, Aceh Development Fund (ADF), jaringan OMS (Forum LSM Aceh, ACSTF, KKTG Aceh) dan sejumlah 14 OMS di level kabupaten sebagai berikut :

Kotak 1: Organisasi dan Wilayah Kerja ANCORs

No.

Organisasi

Wilayah Kerja

Keterangan

1.

Yayasan Demokrasi untuk Negeri (DAUN)

Aceh Singkil

Isu Kesehatan

2.

Rabithah Thaliban Aceh (RTA) Aceh Singkil

Aceh Singkil

Isu Pendidikan

3.

Flower

Aceh Barat

Isu Kesehatan

4.

PAPAN

Aceh Barat

Isu pendidikan

5.

Yayasan Pengembangan Kawasan (YPK)

Aceh Barat

Isu administrasi publik

6.

Mataradja

Aceh Jaya

Isu kesehatan

7.

Masyarakat Partisipatif (MASIF)

Aceh Jaya

Isu pendidikan

8.

Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) Aceh

Aceh Besar

Isu kesehatan

9.

PUGAR

Aceh Besar

Isu anggaran publik (kesehatan dan pendidikan)

10.

YPSDI

Aceh Besar

Isu pendidikan

11.

PASKA

Pidie

Isu kesehatan

12.

PERAK

Pidie

Isu administrasi publik

13.

LSPENA

Bireuen

Isu kesehatan

14.

BIMA

Bireuen

Isu pendidikan

Sumber : diolah dari “Pelajaran Dari Aceh: Masyarakat Sipil Mendemokratiskan Daerah”, Yappika, 2009.

 

Selain itu, untuk mendorong perbaikan pelayanan publik di Aceh, Local Governance Innovations for Communities in Aceh phase 2 atau disingkat Logica2 -- sebuah program yang didanai oleh Australian Aid untuk mendukung program pembangunan di Aceh bidang pemerintahan dan pelayanan publik -- mencoba menggugah keterlibatan OMS untuk  mendukung kinerja Pemerintahan melalui penerapan  Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan[15].

Berikutnya, partisipasi publik juga terjadi untuk mendorong good and clean government melalui monitoring anggaran dan keterbukaan informasi publik, seperti yang dilaksanakan oleh GeRAK Aceh, Masyarakat Transparanasi (MaTA) Aceh, Rumoh Transparansi Aceh serta Koalisi NGO HAM Aceh. Dalam pelaksanaan program, selain melaksanakan pendampingan, organisasi dimaksud juga menyampaikan hasil pengawasannya melalui koran lokal seperti Serambi Indonesia[16]. Berikut permohonan penyelesaian sengketa informasi publik yang dilakukan pemohon :

Kotak 2 : Pengajuan Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik  Berdasarkan Perseorangan, Kelompok Orang, dan Badan Hukum

 

No.

Kategori Pemohon Informasi

Jumlah

Perseratus

(%)

Keterangan

1.

Perseorangan

1

11.11

2 kasus

2.

Kelompok Orang

1

11.11

13 kasus

3.

Badan Hukum

7

77.77

15 kasus

 

Jumlah Total

9

100 %

30 kasus

Sumber : Laporan Komisi Informasi Aceh, 2014.

 

Berdasar kotak di atas diketahui bahwa sejumlah organisasi sangat aktif mendorong keterbukaan informasi publik di Aceh, sebagai bagian dari mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Berdasarkan data-data di atas, sepanjang tahun 2014 pengajuan permohonan penyelesaian sengketa informasi yang diajukan kepada Komisi Informasi Aceh (KIA) paling tinggi berasal dari badan hukum yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)/Ornop/NGO sebanyak 7 lembaga (77.77%) 15 kasus. Kelompok Orang 1 permohonan (11.11%) 15 kasus. Dan Perseoranga 1 permohonan (11.11%) 2 kasus.

Menurut Alfian[17] bahwa uji akses merupakan langkah awal untuk memastikan pengurangan jumlah korupsi, sehingga mampu mendorong tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.”Semakin  terbuka proses perencanaan, maka kemungkinan kolusi dan nepotismenya semakin rendah”, ungkapnya.

Pada sisi lain, permohonan informasi publik yang dilakukan oleh OMS ditujukan untuk memastikan hak-hak korban konflik dapat dipenuhi oleh negara (melalui Pemerintah Aceh). Hal ini dinyatakan oleh Zulfikar Muhammad dalam sidang sengketa informasi publik di KIA, antara Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh dengan Koalisi NGO HAM Aceh[18].  Hal ini merupakan bagian  yang tak  terpisahkan untuk memastikan keberlanjutan perdamaian Aceh dengan memastikan hak-hak korban konflik masa lalu.

Selanjutnya, Wakil Ketua Komisi Informasi Aceh[19] menyatakan bahwa partisipasi publik akan meningkat jika keterbukaan informasi publik juga semakin luas. “Partisipasi publik dan keterbukaan informasi publik jalannya bersisian, tanpa keterbukaan informasi publik maka partisipasi publik dalam pembangunan juga rendah”.

Selanjutnya, berdasarkan Laporan KIA 2014 diketahui bahwa UU KIP sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 17 UU KIP, telah membagi informasi dalam 4 (empat) kategori yakni informasi yang wajib disediakan dan diumumkan, informasi yang wajib diumumkan secara serta merta, informasi yang wajib tersedia setiap saat dan informasi yang dikecualikan.

Berdasarkan kategori tersebut, dapat dilihat dalam kotak 3 bahwa informasi yang paling banyak diakses yang kemudian diminta penyelesaiannya kepada KIA adalah informasi yang wajib tersedia setiap saat 23 kasus (62.16%). Selanjutnya informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala 9 kasus (24.32%). Sedangkan informasi yang wajib diumumkan secara serta merta dan informasi yang dikecualikan sebagaimana dirincikan dalam Pasal 9 UU KIP tidak ada yang mengajukan permohonan sehingga tidak ada permohonan penyelesaian sengketa yang masuk atau 0% (lihat Laporan KIA 2014).

 

Kotak 3: Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Terhadap Informasi Yang Wajib Disediakan Dan Diumumkan, Serta Merta, Tersedia Setiap Saat

dan Yang Dikecualikan

 

No

Jenis Infomasi / Data Yang Dimohon

Jumlah Permohonan

Persentase

Keterangan

1

Informasi berkala

6

24,32%

2 kasus

2

Informasi serta merta

0

0%

13 kasus

3

Informasi tersedia setiap saat

24

62.16%

15 kasus

4

Informasi yang dikecualikan

0

0

30 kasus

 

Jumlah Total

30

100%

 

Sumber Data : Sekretariat KIA, 2014

 

Selain informasi sebagaimana terdapat dalam Pasal 9 UU KIP juncto Pasal 11 Perki 1 SLI, Pasal 11 UU KIP juncto Pasal 13 Perki 1 SLIP, ada juga pemohon yang mengajukan permohonan penyelesa- ian sengketa informasi berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU KIP 1 kasus (2.7%), Pasal 28 Perki 1 SLIP 1 kasus (2.7%). Terhadap kedua pasal tersebut, informasi yang disengketakan diajukan permohonan penyelesaiannya oleh pemohon yang berdomisi di Jakarata yaitu Muhammad Hidayat S. Sengketa informasi tersebut terjadi antara Muhammad[20].

Berdasarkan data-data di atas dapat disimpulkan bahwa badan publik yang menjadi termohon tidak mengerti dan memahami dengan baik terhadap UU KIP. Selain itu dapat juga dikatakan, bahwa badan publik tidak patuh terhadap UU KIP sehingga seharusnya apabila informasi yang diminta secara jelas masuk ke dalam informasi terbuka (Pasal 9 UU KIP juncto Pasal 11 Perki 1 SLIP dan Pasal 11 UU KIP juncto Pasal 13 Perki SLIP) badan publik langsung dapat memberikan informasi kepada pemohon tanpa harus disengketakan baru bersedia diserahkan. Dalam hal ini PPID badan publik belum memahami UU KIP. Ini dapat diketahui dari jalur penyelesaian sengketa informasi 12 kasus atau 48% diselesaikan melalui mediasi dan tidak ada satu kasus pun yang masuk ke dalam sidang ajudikasi 0% Ini artinya bahwa informasi yang disengke- takan sebagaimana terlihat dalam tabel III masuk ke dalam kategori informasi terbuka baik terkait dengan Pasal 9 UU KIP Juncto Pasal 11 Perki SLIP (24.32%) maupun Pasal 11 UU KIP juncto Pasal 13 Perki SLIP (62.16%). Sedangkan informasi yang dikecualikan adalah 0%. ini artinya tidak ada yang mengajukan permohonan terhadap informasi yang dikecualikan. Ada kemungkinan pemohon sudah sangat mengerti sehingga terhadap informasi yang dikecualikan apabila juga diajukan permohonan sudah dapat dipastikan tidak akan dikabulkan meskipun diproses melalui sidang ajudikasi. Hal ini tentu berbanding balik dengan badan publik yang justru tidak bersedia menyerahkan informasi padahal informasi tersebut jelas-jelas masuk ke dalam informasi terbuka (lihat Laporan KIA, 2014).

 

  1. Penutup

Mengacu pada peraturan serta pendapat para ahli di atas, maka partisipasi publik di Aceh harus didukung dengan jaminan keterbukaan informasi publik. Ibarat dua sisi mata uang, keduanya saling memperkuat dan melengkapi. Apalagi keterbukaan informasi  publik menjadi dasar demokratisasi dan pemenuhan HAM, terutama  dalam hal kebebasan memperoleh informasi.

Untuk itu, badan publik wajib menjalankan kebijakan  serta menyediakan berbagai informasi sesuai ketentuan,  membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi, serta membentuk dan mengoptimalkan PPID[21]. Berbagai upaya sosialisasi menjadi agenda penting guna memastikan distribusi informasi menjangkau masyarakat luas.  Dengan demikian, pengguna informasi dapat melaksanakan haknya sesuai kebutuhan. Mengingat, efektif tidaknya partisipasi publik dalam pembangunan di Aceh, akan meningkatkan kohesi sosial pascakonflik. Sehingga dapat berkonstribusi terhadap keberlanjutan pembangunan perdamaian yang positif.

Pada sisi yang lain, partisipasi aktif publik menjadi keharusan guna memastikan tidak berulangnya periode konflik di Aceh. Untuk meningkatkan partisipasi publik dalam pembangunan dan pembentukan kebijakan,  maka penyelenggara pemerintahan, pelaku pasar, serta OMS di Aceh dapat menjalankan peran strategisnya. Upaya yang dapat dilakukan adalah memperluas sosialisasi tentang pentingnya UU KIP. Selain itu meningkatkan pemahaman publik tentang pemanfaatan ruang keterbukaan saat ini, hal ini ditujukan untuk memperkuat kultur transparansi dalam pelaksanaan program, baik yang didanai oleh lembaga pendukung maupun melalui dukungan pemerintah.

Sehingga proses pembangunan perdamaian yang sedang berlangsung di Aceh, tidak hanya mereduksi kekerasan secara langsung tetapi dapat pula menghasilkan perdamaian positif yang berkelanjutan. Perdamaian yang mewujudkan persamaan dalam mendapatkan perlakuan oleh sistem tatakelola pemerintahan yang baik dan bersih,  termasuk dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial yang merupakan strategi tindakan dari perdamaian positif[22]

Semoga saja, dengan keterbukaan informasi publik dapat meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan perdamaian Aceh.

 

DAFTAR PUSTAKA

Antoft, Kell dan Jack Novack (1998), Grassroots Democracy: Local Government in the Maritimes, Henson College, Delhousie, Nova Scotia.

Eko, Sutoro dan Afrizal Tjoetra (2012). Membangun Perdamaian Aceh: Pelajaran dan Sumbangan Organisasi Masyarakat Sipil melalui TERAPAN. Banda Aceh: Aceh Development Fund (ADF).

Graham, Khaterine A. and Susan D. Philips, (ed) (1998). Citizen Engagment: Lesson In Participation From Local Government. The Institute of Public Administration on Canada, Toronto, Ontario, Canada.

Huntington, Samuel P dan Joan M. Nelson (1988). “ No Easy Choice: Political Participation in Development Countries”, dalam Miriam Budiardjo (ed), Partisipasi Politik dan Partai Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 

Jaringan Sipil Peduli Pelayanan Publik-JSP3 (2014). Berjuang Untuk Kesehatan Rakyat: Kolaborasi OMS dan Pemerintah untuk Penerapan SPM Kesehatan. Banda Aceh: Balai Syura Ureung Inong Aceh, Koalisi NGO HAM Aceh, dan Forum LSM Aceh.

Laporan Komisi Informasi Aceh, Tahun 2014.

Susan, Novri (2010). Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, Jakarta: Kencana.

Tjoetra, Afrizal (2015) dalam Peran Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Aceh Pasca MoU Helsinki. Tulisan yang disampaikan dalam dalam Multi Stakeholder Forum:  Support for Sustainable Positive Peace  in Aceh, April 13 and 14, 2015, Oasis Atjeh Hotel – Banda Aceh

Tjoetra, Afrizal dan Kamarulzaman Askandar (2014). Peran OMS dalam Pembangunan  Perdamaian Aceh, dalam Jurnal Pasai Vol. 8, No. 1, Mei 2014: 145-176.

Tjoetra, Afrizal (2014). Peran Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Aceh Pasca MoU Helsinki. Jurnal Dimensi, Volume 6, Nomor 1, Juni 2014: 5-18.

Trijono, Lambang (2007). Pembangunan sebagai Perdamaian: Rekonstruksi Indonesia Paska-Konflik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Trijono, Lambang (2009). “Pembangunan Perdamaian dan Peran Masyarakat Sipil di Indonesia” dalam Prihatono, TH. Et.al. Post-Conflict Peacebuilding: Naskah Akademik untuk Penyusunan Manual, Jakarta: ProPatria Institute.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.


[1]     Lihat Waspada 21 September 2012 dan Serambi Indonesia pada 31 Oktober 2012, 9 November 2012 serta 27 November 2012.

[2]    PPID Utama Aceh adalah Kepada Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika (Dishubkomintel) Aceh. Dalam pelaksanaan sehari-hari dibentuk Kepala Pelaksana Harian yang bertempat pada UPTD Seuramoe Informasi Aceh.

[3]     Lihat Samuel P Huntington dan Joan M. Nelson (1988). “ No Easy Choice: Political Participation in Development Countries”, dalam Miriam Budiardjo (ed), Partisipasi Politik dan Partai Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 

[4]     Lihat Kell Antoft dan Jack Novack (1998), Grassroots Democracy: Local Government in the Maritimes, Henson College, Delhousie, Nova Scotia.

[5]     Lihat Katherine A. Graham and Susan D. Philips (1998). “Making Public Participation More Effective: Issue for Local Government”,  dalam KA Graham and SD Philips (ed) Citizen Engagment: Lesson In Participation From Local Government, The Institute of Public Administration on Canada, Toronto, Ontario, Canada. Hal. 8

[6]     Lihat tujuan pembentukan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 3 point d.

[7]     Lihat Graham and Philips (1998). “Making Public Participation More Effective: Issue for Local Government”.

[8]     Lihat Sutoro Eko dan Afrizal Tjoetra (2012) dalam Membangun Perdamaian Aceh: Pelajaran dan Sumbangan Organisasi Masyarakat Sipil melalui TERAPAN. Hal. 7.

[9]     Ibid.

[10]   Ibid.

[11]   Ibid.

[12]   Ibid.

[13]   Lihat Afrizal Tjoetra (2014) dalam Partisipasi Publik dan Pembangunan Perdamaian di Aceh Paska MoU Helsinki, Jurnal Dimensi. Volume 6, Nomor 1, Juni 2014. Hal. 5-18. 

[14]   Program ANCORS (Acehnese Civil Society Organization Strengthening), adalah bentuk kerjasama parapihak (Organisasi Masyarakat Sipil-OMS, penentu kebijakan, dan tokoh masyarakat) untuk mendorong perubahan, dilaksanakan oleh Yappika bersama dengan Ornop lokal di Aceh pada 2006-2009. Lihat juga Afrizal Tjoetra, dalam Peran Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Aceh Pasca MoU Helsinki, yang disampaikan dalam Multi Stakeholder Forum:  Support for Sustainable Positive Peace  in Aceh, April 13 and 14, 2015, Oasis Atjeh Hotel – Banda Aceh.

[15]   Lihat Berjuang Untuk Kesehatan Rakyat: Kolaborasi OMS dan Pemerintah untuk Penerapan SPM Kesehatan, hal. 65. SPM yang telah tersusun akan menjadi pedoman bagi kedua belah pihak, pemerintah daerah maupun masyarakat. Bagi pemerintah daerah SPM dijadikan pedoman dalam melakukan pelayanan publik, sedangkan bagi masyarakat SPM merupakan pedoman untuk memantau dan mengukur kinerja pemerintah daerah (hal. 13).

[16]   Lihat Afrizal Tjoetra (2015), dalam Peran Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Aceh Pasca MoU Helsinki.

[17] Alfian adalah Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA). Organisasi ini fokus pada agenda anti korupsi. Wawancara pada 30 Maret 2015.

[18] Zulfikar Muhammad adalah Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM Aceh. Penyelesaian sengketa informasi dilakukan karena Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh tidak memenuhi permohonan informasi. Hingga April 2015, penanganan sidang ini menunggu jadwal pmbacaan utusan oleh Majelis Komisioner Komisi Informasi Aceh.

[19] Wakil Ketua Komisi Informasi Aceh  adalah Jehalim Bangun, SH, sekaligus Komisioner Komisi Informasi Aceh, periode 2012-2016. Wawancara pada 10 April 2015.

[20] Lihat Laporan KIA 2014.

[21]   Lihat UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi, pada pasal 7 dan 13.

[22]   Lihat Novri Susan dalam Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2010. Hal. 137.